Sabtu, 21 Februari 2015

Nostalgia 5 Centimeter



Beneran deh, saya lagi rindu hiking-an. Agenda mendaki gunung yang direncanakan di Januari bubar jalan, sampai Februari begini juga belum bisa di realisasaikan, yaomaa yaoma sedihnya ~~
Jadilah untuk menghibur kesedihan, aku nostalgia aja dengan review bukuku yang menyimpan cuplikan pendakian dalam alurnya.Masih ingat qoute legendaris ini?
Kaki yang akan berjalan jauh dari biasanya
Tangan yang akan berbuat lebih dari biasanya
Mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya
Leher yang akan lebih sering menatap ke atas
Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja
Hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya
serta mulut yang akan selalu berdoa
percaya pada 5 cm di kening kamu.
Entahlah~ berani kukatakan, quote di atas menjadi sangat mahal maknanya bagi sesiapa saja yang sudah membaca novelnya Donny D. Atau pun sesiapa saja yang sudah menonton visualisasi filim yang dibintangi oleh Herjunot Ali, Raline Syah, Denny Sumargo, Fredi Nuril dan Igor Saykoji. Si lima sekawan yang selalu berlima.
Adalah nostalgiaku untuk mengenal novel tersebut sejak SMA (ingat momentnya sewaktu SMA, tapi gak ingat tahun berapa gitu yaaa, entahlah mungkin 2008 -_-). Lihat covernya kupikir, pengen bilang “Kereyen...Gileee gitu loch” (zaman itu kata gitu loch lagi laris habis-habisan.

Baiklah. Bersebab review ini merangkap ranah nostalgia, aku harus teringat memori saat zaman-zamannya SMA. Ya, karena aku mengenal novel 5 cm-nya Donny D sewaktu masih melapak (karena “duduk” sudah terlalu mainstream) di kelas sebelas SMAnda Binjai. Dalam sekejap perhatian 5 cm sudah jadi primadona diantara kawan-kawan awak. Kronologisnya pun karena kawan sekelas awak yang mungkin berlagak agak pamer menunjukkan novel yang bercover hitam pekat dengan embos tulisan yang samar. Penampilan yang memaksa mataku untuk terpancing dalam godaan paling bergengsi. Alamat pancingan tersulut, aku berhasil menjarah novel itu dalam sekilas lembaran. Dalam pesona pancingan bujuk rayu lanjutan, aku pun langsung carter untuk menjarahnya lebih lama, ya maksudnya biar bisa dibaca sampai tuntas. Namun alangkah malang, bujuk rayuku enggak kesampaian, berakibatkan negoisasi yang tak berjalan lancar dengan si kawan yang ternyata menyembunyikan fakta: bahwa novel itu dalam status hasil todongan dari kawannya kakak si kawanku (baca: pinjaman berantai).

Yaoma yaa oma~ Nasibnya zaman esemaku emang gitu, entah aku yang kurang gahol, entah emang semesta enggan mendukung. Perkara menikmati novel atau buku bukan prihal yang gampang bagiku (terkecuali, memang kawanku yang alhamdulillahnya suka pamer buku-bukunya dan dengan sukarela meminjamkan). Mau beli novel? Aduuh.. paitlah. Dengan alasan Binjai(e) yang enggak (lagi) punya toko buku, perpustakan sekolah yang eggak update novel-novel baru, dan lagi Ayah yang eggak ngizinkan aku pergi ke Medan hanya untuk mengunjungi Gramedia. Ohmaigatt, mirisya zamanku :(. Sekelumit enggak enaknya masa rok abu-abuku juga diperparah dengan segala perizinan resmi untuk agenda haiking dari sekolah. Alhasil absensiku kayak pakai pemutih dari unsur-unsur agenda ekskul di sekolah. ~Butiran debu aja dijadikan judul lagu. Disitu kadang saya merasa sedih -_-.

(sejenak lupakan nostalgia, dan kembali ke 5 cm.) Parahnya, sampai dalam masa kejayaan anak kuliahan semester awal. Bahkan sewaktu om Donny D datang ke Medan dan novelnya sudah difisualisasikan di layar lebar: daku juga belum baca novelnya. Miris ya?. 
Akhirnya dalam ingatan yang menusuk-nusuk sanubari, versi filim 5 cm tetap berhasil kunikmati walaupun semakin membuncahkan penenyesalan sedalam-dalamnya. Apalagi, sepulang nonton filim itu membuat aku tak nyenyak tidur dengan fenomena Mahameru yang aduhai~ (Oh iya, dengan sekejap novel itu masuk dalam list keharusan hak milik. Sudah tercapai kelang sehari saja kok.) #skip.

Bumi berotasi dengan kodratNya. Waktu tentu saja terus berlalu. Kita boleh bernostalgia. Namun realita yang lebih pantas kita bolehkan. Sekelumit pencerahan mengajarkanku untuk belajar mengerti sesuatu dengan pemahaman dan bersabar. #ehh Dalam nostalgia yang sudah kucongkel tadinya, novel ini memang sesuai dengan teste guek. Seperti punya rasa kemudaan pop idealis yang futuristik (mungkin itu fusion rasa paling geerr :D). Memang fresh, asyik dan menyimpan syarat makna yang mendalam. Bahkan dalam taburan bumbu bernilai nasionalisme, yang diracik apik dalam cuilan-cuilan filosofis yang memperanggun tampilan cerita. 

5 Centimeter dilatarbelakangi kisah persahabatan lima sekawan berkarakter pesona. Masing-masing tokoh sangat mencerminkan kesejatian sikap sosial yang bisa dikatakan oke. Saling mengisi dan mewarnai kebersamaan, saling berprinsip dengan adanya keunikan masing-masing. Novel berdurasi 397 halaman ini sukses membeberkan keragaman ketar-ketir individu yang tak sekedar berusaha menjadi dirinya sendiri namun juga memperjelas tentang dirinya sendiri. Tokoh yang berperan sebagai Zafran menurutku yang paling nyentuh "kegilaan". Dia berkarakter humanis, luwes, berperasa penyair dan pecinta sastra dalam sudutpandang filosfis. Tentang Genta yang berkarakter leader dengan sejuta impian, sikapnya yang dingin dan renyah (es campur kerupuk? haha) menjadikanya kriteria guek hahah. Tentang satu-satunya perempuan yang amat beruntung punya empat kawan yang care badai, si Riani sang penyegar, bidadari luwes tak bersayap ;p. Tentang Ian yang gondut, bak maskot unik kebersamaan mereka, kemudian tentang Arial si atletis, jagoan berhati jalan tol yang bersudara kembar dengan Arinda.

Hal-hal yang menarik dari novel 5 cm (menurut aku sih) ada tiga kategori. Yang pertama, ya tentang pengkarateran tokoh yang terasa cukup detail. Dalam penginderaan imajinasiku, ketika menonton dan membaca novelnya, 5 centimeter mampu menyajikan klisean kisah nyata yang berserakan dalam jagad semesta. Tangan dingin Donny menjadikan cakupan kisahnya ringan namun berat makna. Novel ini tak sekedar menghibur dengan lirik-lirik lagu sepanjang abad yang keren, namun kehadiran jokes yang paling terkini masa itu juga tetap menghibur dengan quote yang masih melekat sampai masa ini. Yang kedua, tentang persahabatan yang tercuplikan begitu asyik dan mengalir, nggak buat bosan malah buat ngiri. Haha. Dari lingkaran persahabatan mereka, satu hal yang melekat dalam ingatanku tentang pesan moral yang juga dipaparkan dalam novel ini, bahwa sebenarnya persahabatan itu adalah pernghargaan individu sebagai manusia yang bermanfaat bagi kelompoknya –kelompok manusia lainnya. Sehingga jalinan persahabatan tidak hanya melulu kesamaan yang sejalan tapi juga perbedaan yang bersedia jelan berangkulan untuk menghargai prinsip masing-masing individu. Dan yang ketika tentang makna terselubung dari novel ini, entah bagaimana mulanya daku juga dapatkan satu ledakan tentang mahadahsyatannya dorongan impian yang bersarang dalam tekad dan jiwa anak manusia. Jargon menujudkan impian mencapai puncak tertinggi mampu menempel erat sebagai satu pesan moral terkece dari novel ini. Karena perjuangan manusia yang berani mengambil resiko untuk berpikir lebih merupakan langkah awal kesuksesan. Berusaha dalam posisi Out of the box, dengan prespektif yang dikaruniakan pikiran untuk menyempurnakan hidup yang lebih asyik.

Pada beberapa bagian cuplikan tentang “suntikan” keyakinan tekad dan mimpi. Nuansa sentuhan cinta yang teramat manis juga berusaha untuk memancing inspirasi, imajinasi karakteristik yang mampu membuat “iri” para pembaca alay (almost, termasuk daku) untuk berseru: “Ahgggggh....keterlaluan banget ini novel, andai gue jadi Riani.” Ha-ha. Dan, entah mengapa, aku pun sangat bangga terhadap persekongkolan imajinasiku sebagai pembaca novel ini. Karena novel ini menjadi salah faktor pemicu "banyak" orang yang kecanduanku pada ketinggian gunung yang aduhaiii~ amboi cek. Kalau kata tetanggaku yang masih labil pun bilang ini: Aku banget. Huaha-ha

1 komentar: