Rabu, 12 November 2014

Tentang Ayah


Bismillahirahmanirrahim... 
Robbanaghfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiroo.
 
Untuk Ayah yang “mungkin” sedang bersantai di kampung atau mungkin berlelah pikir tentang apapun yang Ayah mau.

Hari ini, bertepat dengan rindu-rinduku yang kian menebal. Bertambahlah beban hatiku tentang mereka yang mengatakan hari ini adalah “Hari Ayah Nasional”.
Aku membayangkan, akan begitu banyak anak-anak yang “merayakan” dengan ucapan-ucapan “Selamat Hari Ayah”, “Ayah adalah segalannya”. Terimaksih Ayah...” “Ayahku yang paling hebat, loveyou Ayah.

Ahh, rasannya . . . . ya hebat!

Terkadang, seorang Ayah lebih mengerti tentang anaknnya. Bisa tahu 'apa yang sepertinya' ingin dikatakan anaknnya.

Mungkin, Bapak tahulah tentang apa yang mau Nak Sri bilangkan, gak usah jadikan ini beban, Nak. Bapak tahu, meskipun, tetap saja, apa yang Nak Sri rasakan butuh aplikasi verbal, untuk jaminan, Bapak tahu itu, Nak, dan jangan tanyakan lagi sayangnya Mamak dan Bapak untukmu, Nak Sri. Bapak bangga semuannya.”... Ayahku yang mengatakannnya, lewat sms, ketika ceremonial wisudaku, seperti hadiah, yang entah kenapa nikmat sekali menemani senduku. Saat itu, sms menjadi pilihan, karena kami masih terpisah tempat duduk.
Dan waktu yang lain juga, bertukar suara menjadi pilihan kami.

“Assalamualaikum Bapak lagi apa?”
--Lagi di rumah, Nak Sri, baca koran.
“Udah Makan Bapak, apa gulainya? Ada sayurnya, gak?
--Udahlah, ikan laut, gak ada, malas kami makannnya.
“Aiih, enaknya..
--Ada masalah di rumah, Nak?
--Sehat Anak, Kan?
--Lagi dimana Sri?
--Jangan naik kereta yaa
--Jangan baca bukumu itu sambil tidur
--Makan nasimu pelan-pelan, 3 kali teraturlah
“.......”
Ayah selalu mengatakan hal yang sama, berulang kali, sampai aku menyerah dan menuruti “maunya”

Masih tentang Ayah.
Aku sangat rindu berdekat (lagi) dengan Ayah. Saat di rumah, mendengar cerewetnya yang kusukai -tidak hanya via suara, yang bahkan sekarang sering kubatasi-
Harusnya, sangat terasa jelas rinduku untuk Ayah. Meskipun tiap-tiap waktu masih mencoba menahan diri untuk tidak banyak melapor padanya, sederhannnya, aku ingin dia tenang dan masih percaya aku baik-baik saja. Yang tidak sederhana, Ayah itu "cerewet" melebihi Mamak. Jadi, karena memang sangat jelas untuk banyak urusan Ayah lebih mendominasi banyak perintah, untuk memerikan hasil padanya, aku masih kesulitan belajar mengatakan "Adek bisa, Pak" karena Ayah terus meragu. Ku pikir selalu begitu sikap seorang Ayah.

Hal yang berbeda akan terjadi, setiap waktu, jika Ayah ada di rumah. Aku akan sangat terampil berusaha bertameng alasan ampuh untuk diantarkannya untuk pergi ke suatu tempat (meski, sekarang aku lebih suka mengendarai kereta sendiri karena sudah bisa dan berani mengendarainnya).  Alasanku masih sama, sederhananya, aku rindu padanya. yang tidak sederhana, aku “masih” ingin bersandar dan memeluk punggungnnya ketika mengendarai keretanya, seperti dulu kecilku.
Hampir 6 tahun lamanya, bahkan sejak aku berusia 3 atau 4 tahun, ketika aku sekedar tahu ternyata “dibonceng Ayah naik kereta itu paling mengasyikkan”.

Selama 6 tahun bersekolah dasar, aku tidak pernah diantar ke sekolah, ya karena memang sekolahku dekat daerah rumah. Berkereta dengannya hanya bisa di sore hari, sepulang aku mengaji di madrasah- jika dia tidak sibuk dan aku juga tidak sibuk menonton tv. Namun, ketika umurku 13 tahun, saat menginjakkan kaki ke SMP, berlanjut SMA, aku selalu menjadi prioritasnya di pagi hari, ya, rutinitasnya pagi hari selalu dibebani dengan agenda mengantarku ke sekolah. Dihiasi desakan agar aku menyegerakan langkah yang dirasanya lambat. Ayah tak segan harus berteriak memanggil dari luar rumah agar aku melangkah dan bergerak lebih cepat. Ayah tidak suka aku terlambat sekolah (meski yang terjadi, aku terlalu sering untuk terlambat)

Dia lah Ayahku. Pria pemikir yang paling kucintai.  Pria perenung yang kukagumi. Pria yang cerewet, diplomatis, kaku, dan memiliki cara tertawa yang aneh dengan kuantitas minimalis. Ayah satu dari pembentuk pribadiku, yang selalu ingin bergerak cepat, seperti terburu-buru. Alasannya dari Ayah karena tak ingin aktifitasnya terhambat dan melambat karena terikat oleh orang lain. Sedangkan alasanku, dia mengajarkan begitu. 

Masih tentang Ayah. Ayah adalah guru berdiplomasi terbaik yang kumiliki. Ayah punya banyak koleksi buku berpidato dan khutbah -dulu ayah jagoan bahkan sampai sekarang.

Sampai aku menjadi Mahasiswa, dia masih setia menjadi “pengantarku” kemanapun aku akan pergi, meski tak jarang dia mulai membatasi, dan sedikit membentak karena keberatan dengan kebergantunganku padanya. Aku yakin itulah hati seorang ayah yang sebenarnnya. Ayah hanya “berusaha” berlaku tegas dan sedikit “keras”.
Entah mengapa, karena kebiasaan dan pemahamanku, aku selalu menganggap itu sebagai rasa kasih sayangnya. Aku selalu merasa semua ucapan-ucapan yang keras itu tak ubahnya sebagai bumbu penyedap yang menambah rasa mantap masakan, meski terkadang dapat menjadi boomerang bagi tubuh dan dapat menimbulkan efeksamping. Tentunya “penyedap makanan” itu adalah analogi sikap ayah bagi anaknya. Ayah sering memadukan jenis-jenis penyedap yang sangat bervariasi. Itulah yang paling ku suka dari Ayah. Aku sangat suka peyedap dari Ayah.
Ayah memang yang paling bisa.
Ayah Pahlawan.


#12112014
Selamat Hari Ayah :)
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar