Selasa, 27 Januari 2015

Selasa, 27 Januari: Untuk Ayah.

Aku menuliskan entri spesial berkisahkan tentang Ayah lagi. Kutuliskan dengan carik surat untuk Ayahku (walaupun Ayah tak akan membaca entri ini). Dengan maksud, jika Ayah mengingatinya suatu saat, aku memiliki bukti akan ingatan yang telah menjadi kenangan. Setidaknya bisa jadi surat ini menjadi alasan cendramataku atau apapun sejenisnya, yang bisa kukatakan sebagai kado untuk Ayah.

Untuk Ayah yang berada di kampung,-
Ayah..
Sebelumnya Adek binggung harus memulai dari bentuk kata-kata ang seperti apa. Mungkin permintaan maaf yang harusnya mendominasi isi surat ini. Namun, Ayah kan tahu, maaf versi kita selalu berbeda, dan rasa-rasanya Adek juga sudah beri alasan karena sudah jarang menerima telepon sekedar menjawab kabar. Handphone Adek masih rusak, tidak bisa digunakan untuk mendengar suara apapun. Entah kenapa Adek belum berniat menggantinya. Maaf Ayah.
Ayah.. mau tahu tentang seusutu? Sebenarnya sejak semalam Adek rangkai-rangkai kata yang paling mudah untuk menyapa 27 Januari milik Ayah, seperti “Selamat ulang tahun Pak” atau “Selamat hari berbahagia untuk Bapak, bertambah keberkahan usia, agar tetaplah seperti adanya, sehat-sehat selalu”. Namun, adek ragu mengatakan itu terlalu mudah. Adek takut Ayah berpikir: anakmu menganeh lagi. Lantas Ayah punya alasan untuk bertanya entah apa saja. Walaupun Adek bukannya tak suka jika Ayah menelepon atau bertanya, adek hanya tak suka mengabarkan hal yang nantinya bisa membuat Ayah tidak nyaman. Ayah, adek baik-baik saja.
Ayah.. tadinya agar lebih mudah dan natural, adek buat opsi untuk menelepon..Adek memang rindu cerewetan Ayah di telepon, mengecek kondisi kesehatanku, menanyakan kebersihan halaman rumah kita, menanyakan paganan harianku, memastikan kakiku tidak beranjak dari rumah kecuali dengan izinmu. Dan jika Ayah tidak lupa menanyakan nasib-nasib buku yang kutelantarkan setelah dibeli. Walaupun selanjutnya kita palingan akan menjadi kaku dalam perbincangan selanjutnya. Tapi Ayah. Adek selalu menunggu-jawaban via seluler itu, Yah. “Ayah.. Hari ini kenapa hapenya tidak aktif? Kenapa tidak diangkat?”
Maaf Ayah, adek enggak jadi menelepon, bathinku memutuskan tidak memungkinkan lagi, karena adek tidak suka menelepon ketika bersedih, bahkan sudah sampai level menangis. Adek mungkin berpikir terlalu dangkal, hingga derai-derai dari mata pun mengalir lagi.
Maaf Ayah, karena tidak punya opsi lain untuk kestabilan, adek kirim sms itu aja. Ayah sudah membacanya kan?
Alhamdulillah. Semoga Ayah percaya Adek baik-baik saja.
Harusnya hari ini adek yang memberikan sesuatu untuk Ayah. Karena sekarang jarak yang belum berkecukupan, sesuatu itu insyaAllah akan Adek tangguhkan sampai Ayah berkunjung ke rumah. Namun, Terimakasihku untuk Ayah karena telah lebih dulu memberikan sesuatu yang sebenarnya lebih Ayah butuhkan. Ayah.. Terimakasih atas sesuatu berupa penentram yang kita anggap sebagai hadiah itu. Sungguh, Ayah, terimakasihku lebih berarti karena Ayah selalu menjaga kesehatanmu.
Tahukah Ayah: derai air mata yang tadinya tak kusadari mengalir, kuhapus berhela-hela.
Untuk 27 Januari Ayah tahun ini. InsyaAllah sudah adek persiapkan sesuatu untuk mengganti kecemasanmu. Adek harap dengan senyum yang mengembang dan berceria nantinya Ayah akan bersedia menerimanya Terimakasih Ayahku: Askolan Harahap. S.Ag.. Bertahanlah selalu dengan kesehatan seperti ini, Ayah. Adek ingin terus Ayah menemani kami, membersamai dalam rencana-rencana yang kita inginkan dan doakan bersama. Semoga Allah mengabulkan doa Ayah. Amiin.
Sekali lagi, selamat sehat selalu dan berbahagia untuk Ayah.
Selasa, 27 Januari 2015
Dari Anak Perempuanmu yang merindu,-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar