Minggu, 28 Desember 2014

[Resensi Buku] Napak Tilas "Anak Kedua" Tetralogi Buru


Novel Anak Semua Bangsa (doc.pribadi)
Judul               : Anak Semua Bangsa 
Pengarang     : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit        : Lentera Dipantara
Tahun             : 2006
Tebal              : 536


Anak Semua Bangsa adalah novel yang menjadi “anak kedua” Tetralogi Buru, racikan seorang eks-Lekra yang hangat dikenal dengan sebutan Pram. Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer sudah sepantasnya dijadikan Sumbangan Indonesia untuk Dunia; seperti yang tercantumkan di sampul belakang novel ini. .Adapun sebagai sebuah roman sejarah-fiksi, kisah yang disajikan bercita rasa seperti Nano-Nano; asam manis plus menyayat hati. Kenapa harus –bercita rasa, seperti- asam manis yang menyayat hati?
Pertama, karena sisi perbandingan dengan kisah yang dihadirkan “anak pertama” Pram. Dari Bumi Manusia yang mengisahkan akselerasi seorang terpelajar untuk mengenal dirinya sendiri dan berhubungan dengan sisi kemanusiaan yang sepantasnya tercermin dari pribadi seorang anak manusia. Jalinan benang merah yang tersambung memang tidak dapat dilepaskan begitu saja, walaupun secara konseptual, Anak Semua Bangsa masih sanggup berdiri sendiri tanpa bayang-bayang “anak pertama”. Hal tersebut dapat tersimpulkan dari pola penceritaan khas Pram yang mampu menciptakan kemandirian dalam Anak Semua Bangsa. Meskipun dengan gaya bahasa bebas dan mandiri dari masa kelahiran novel ini.
Di awal novel ini, Pram menjamu pembaca dengan kisah yang menguras emosi pribadi. Tokoh Minke yang sukses mendaur ulang surat-surat dari Jan Dapperste alias Panji Darman. Dia ditugaskan oleh Nyai Ontosoroh untuk mengawal dan mengabarkan kondisi Annelis –istri Minke- yang dibawa dengan paksa atas tuntutan wali asuh yang hanya terhubungan karena tali kekeluargaan di mata hukum.
Alasan kedua, karena roman sejarah-fiksi ini menjelaskan sisi lain sebagai tandingan romantika Minke, yaitu kontribusi kemampuan dan kemauan menulis untuk bangsanya, untuk kemajuan Pribumi. Tentunya, siapa yang tidak akan dibuat kagum dengan karakter seorang Nyai yang mampu memberikan perlindungan bahkan pengetahuan lebih mendalam bagi menatunya yang tamatan H.B.S; sekolah bergengsi pada masa kolonial. Seperti dalam satu paragraf dijelaskan, “Seluruh dunia kekuasaan memuji-muji yang kolonial. Yang tidak kolonial dianggap tak punya hak hidup, termasuk mamamu ini. Berjuta-juta ummat manusia menderitakan tingkahnya dengan diam-diam seperti batu kali yang itu juga. Kau , Nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin. Akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Dan kolonial itu, kan itu persyaratan dari bangsa pemenang pada bangsa yang dikalahkan untuk menghidupinya?”.
Selanjutnya penceritaan paralel tentang penggodokan pola pikir dan kedewasaan seorang terpelajar -seperti Minke- yang mendapat teror tentang kekagumannya kepada Eropa, terlebih Revolusi Prancis. Kekagumannya kepada Eropa menjadiakan sosok Minke seperti kehilangan jiwa kemanusiaan dan harga dirinya sebagai anak kelahiran bangsa yang dijadikan tempatnya berhidup dan menghisap kenikmatan Hindia. Status pribumi yang disandangnya seakan menjadi dilema dikala pencitraan sebagai kaum terpelajar yang hanya mengagumkan ilmu pengetahuan milik Eropa.
Bak kisah hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Bobroknya birokrasi yang telah sejak dahulunya, kembali tersaji dan menjadikan suhu pembentukan kultur dan karakter pribumi yang terdistorsi. Apa mau dikata, semua terjelaskan dengan begitu gamblang, seperti apanya apa yang terjadi dalam kaca mata Pram pada masa itu. Alur kisah yang mengalir menjadi kenang-kenangan hidup bagi Minke yang mulai disadarkan tentang yang didapatkannya dari bangku sekolah H.B.S menuju realitas ilmu dan pengetahuan yang tidak sampai diketahuainya. Yang tercetus dalam paragraf, “Dan untuk kesekian kalinya terpikir olehku: lulus H.B.S ternyata hanya makin membikin orang tahu tentang ketidaktahuan sendiri. “Sekolahmu itu belum lagi apa-apa...”.
Pembaca selanjutnya dijamu dengan penggalan kisah, Khoe Ah Su, seorang aktivis Angkatan Muda Cina yang sedang mengampanyekan nasionalisme di Hindia. Marten Nijman, redaktur SN v/d D yang mengecewakan Minke karena tulisannya diplintir untuk menjebak Khoe Ah Su. Hal yang tersadarkan oleh Minke itu, tentu saja menjadi realitas yang membuatnya kaget. Nyai Ontosoroh secara bijak menerangkan bahwa watak Eropa tak akan berubah; licik, penipu, jahat. Eropa yang unggul di ilmu dan ekonomi tapi cacat moral. Tentang kecacatan hukum dan pengadilan yang selalu menjadi kepentingan Kolonial, bukan kepentingan Pribumi. Dikisahkan tentang kejamnya administratur pabrik gula di Sidoarjo, bernama Plikemboh. Pram juga mengisahkan pertemaun Minke dengan Trunodongso dan sekelumit penderitaan kaum tani yang sedang diteror untuk memberikan tanahnya kepada pabrik gula. Kemudian dengan kisah pengalaman Minke yang terus mengalir sampai mendapatkan pengaruh liberalisme yang juga termaktub dalan novel ini, melalui kisah pertemuan Minke dengan Ter Haar, seorang jurnalis Belanda yang memaparkan semua kebusukan kolonial.
Seperti dijelaskan di awal, keseluruahn novel Anak Semua Bangsa sejatinya tidak hanya mengisahkan tentang romantika seorang Minke. Seorang yang terpelajar dalam menjalani kehidupan menulisnya agar mampu berakselerasi untuk menulis Melayu dan membangun citra Pribumi. Namun, dikisahkan juga babak keinsyafan Robet Mallema yang merintih ampun kepada Nyai Ontosoroh yang semulanya tak pernah diakuinya sebagai ibu. Robert Mallema harus berakhir dengan kematian yang akibat penyakit penanggungan dosa-dosa masa lalunya. Kabar kematian yang tidak pernah menjadi berita yang diinginkan seolah menjadi berita penawar dan ketentraman semantara atas nasib Boerderij Buitenzorg yang dibangun Herman Mallema bersama Nyai Ontosoroh sebagai istri tidak sah. Hasil korespondensi permohonan maaf Robert Mallema yang dikirim ke Wonokromo dijadikan saksi atas penjabaran kesalahannya di masa lalu, hingga pengakuannya yang mewariskan tokoh baru, hasil hubungan gelapnya bersama si pembantu genit yang bernama Minem. Tokoh baru yang berindikasi bisu tersebut dijadikan kartu joker oleh Nyai Ontosoroh untuk mempertahankan Boerderij Buitenzorg yang akan segera dirampas oleh ahli waris sah secara hukum dari keluarga Mallema. Meskipun sebelumnya ia telah kalah di depan hukum Eropa, Nyai Ontosoroh tetap melakukan perlawanan dengan kartu joker terakhirnya, yaitu berjuang dengan mulut. Sampai di akhir kisah, Pram menutup kisah “anak keduanya” dengan apik, selayaknya tersaji dengan cita rasa melegakan tenggorokan.
#OMOB (One Month One Book)
#FLP_SU
28122014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar