Sabtu, 17 Januari 2015

[Fiktif] Ada Apa Dengan Ceria? #2



Sepiring nasi goreng dan teh hangat sudah tamat riwayatnya. Bulir-bulir air masih jatuh malu-malu, berkeliaran disekitar kami. Satu jam yang lalu, hujan turun dengan bersemangat. Kami masih setia berteduh di warung makan dadakan di pinggir jalan.
Tadinya aku melihat pasangan yang agak kontroversi. Mereka terlihat seperti papi-mamian. Aku tak mengerti pasangan seperti itu bertindak dengan "label sah" atau akal-akalan saja. Pasangan itu terlihat berwajah muda. Juga terlihat cincin keemasan yang melingkari jemari manis si perempuan. Meski aku tak begitu yakin, cincin itu sekilas juga terlihat sebagai aksesoris saja.
Sekitar 30 menit yang lalu. Aku melihat si -yang disebut- Papi itu memberikan bunga kepada si -yang disebut- Mami.
Oh. Celakanya aku. Entah apa gerangannya hingga aku harus terusik dan mendengar dialog mereka. Mereka duduk disebelah kursiku, sedangkan jaraknya tak lebih dari sejangkauan tangan jika aku harus usil meminta saos atau kecap yang ada di meja mereka. Bukan salahku sepenuhnya, kan?
Terdesir kalimat pujian yang kurang lebih berlafaskan, "Makasih ya, Pi, romantis banget sih, bla.. bla.. bla..." Selanjutnya aku malas melanjutkan pendengaranku tadi, sesungguhnya aku tak tahan kebanyakan menelan ludah, mengaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal sama sekali. Mau muntah saja rasanya.
Sementara Ce yang sedari tadi membersamaiku masih duduk termenung. Aku yakin dia juga memperhatikan, dia seenaknya berceletuk, "Andai bunga itu disertakan cokelat dan sebaris-baris puisi. Duh.. Kurebut itu semuanya." Tentu saja serangan mendadak itu membuat mataku terpaksa membelalak.
"Ceria, serius?"
"Gak usah serius-serius kali lah, Yik. Toh selera orang wajar berbeda. Menurutku itu keren." Jawabnya masih dengan termenung.
"Oh. Iya Ce, bisa jadi itu keren tapi egak terlalu keren pastinya." Kulihat dia menggelengkan kepalanya, "Ce please deh kemana dirimu yang pernah kukenal. Apa perlu kuberikan cermin untuk mengoreksi jiwamu yang mulai sakit malam ini." kubalas sambil memanyunkan bibir. Kemudian kusentuh keningnya dan kurujuk ekspresi selayaknya seorang dokter.
Dia membalas ekspresiku. Melihatku dalam-dalam. Seolah merasa bersalah dan berusaha mempertimbangkan celetukannya. Dia menebus ekspresiku, seolah berkata: “begitu parahkah?"
"Aku gak tahu sepastinya Ce, menurutku sesi romantis versimu itu tidak menyenangkan sama sekali. Menurutku akan lebih keren dan asyik kalau bunga itu diberikan di suatu tempat yang lebih spesial. Di gunung, misalnya?" ujarku sambil meliriknya.
"Tapi, Yik, tuh lihat, mereka melakukan sesi keromantisan saat beginian loh. Ya, walaupun di pinggiran jalan begini, di warung Mak Etik pulak." Agak ragu dia melanjutkan, "Hm, memang kelihatan gak niatnya, sih!”
Kulihat dia menahan sehela nafasnya dan menghembusnya perlahan. “Ce, kau terjebak nostalgia, ya?" Aku mulai khawatir lagi dengannya, "Tenang aja Ce, opsi coklatnya gak salah kok untuk dipertimbangkan." Cericauku sambil ber-haha-haha.
Dorr!
Ceria menundukkan kepalanya. Meringis kengerian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar