Senin, 12 Januari 2015

Soe Hok Gie, Dalam Sebaris Tanya

Saya meyakini sebuah pemikiran bahwa semua hal terlalu pantas untuk kita ketahui. Karena godaan menjadi orang kepo itu terkadang terlalu menggiurkan.

Demi apa pun (Miyapah? Masih zaman gak kosa-kata itu :P)
Salah satunya yang perlu kita dipelajari adalah tentang satu pernyataan yang sering kita lantunkan “kok bisa ya, dia begitu?"

 hayoo ngaku... siapa hayooo yang pernah “ngiri” begitu?

(((*ngacung diri sendiri*)))

Sebagai manusia biasa yang berprilaku standar, berkemampuan dibawah rata-rata, bertampang diambang kengerian serta sering bertindak sebatas mata kaki dan pinggiran tepi garis yang mengunci. Fiuuuh!

Apa yang hendak saya lakukan?

Bahkan pertanyaan bodoh seperti itu sering saya lontarkan pada cermin –bahkan gelas-gelas kaca.

Atau setingkat kesadaran yang lebih mahsyur, kupertanyakan diri sendiri: “Apa yang sudah kau lakukan, Yik?! (pakai tanda seru, ya, karena pertanyaan itu membuat kesal).

Sulit. Lumayan sulit sekali menjawabnya. Karena untuk menjawab kebenaran selalu dibayangi oleh pembenaran yang membosankan. (alasan) Agrrrh!
(sebenarnya mau mengehentikan tulisan ini, tapi karena intinya aja belum dapat. Yaudahla lanjut lagi...)
*tarik nafas* 

Lupakanlah tentangku. Hapus saja aku, namun jangan lumpuhkan ingatanmu, ya! Menjadi gila memang terkadang menyenangkan walaupun kenyataannya tak seindah itu. Haha.

Siapa yang percaya tentang satu, dua hal atau banyak kemungkinan yang dapat kita rasakan saat meluangkan rehat waktu untuk bertanya kepada diri sendiri? Menyusuri pedalaman hati dan ruang-ruang sempit didalam kepala. Adakah susuatu yang tersisa atau bahkan tersimpan, selain kenangan-kenangan tentang masa lalu..

 ohh masa lalu? hanyalah masa lalu *keplak meja!*

Saat ini, di dekatku ada buku-buku yang sengaja saja kuserakkan di sekitaran tempat tidur. Kondisinya agak tragis. Sampai tak jarang buku-buku itu terpaksa harus terlipat atau terciprat entah apapun.

Sudah resiko karena memang itulah inginku. Membiarkan buku itu berdekatan langsung denganku agar aku segara membacanya sampai tuntas.

Toh, hampir sama seperti CINTA yang kan datang karena terbiasa. Terbiasa berdekatan dan selalu bersama. *halah- bawa kata cinte pulak * plak!

Emang udah penyakit hampir jadi penyakit bagiku: kalau baca buku suka pehape, baru 10 lembar udah off. Baru baca kata pengantarnya udah ngantuk. Lanjut baca testimoni dan embel-embel yang menggembel eh udah ketiduran. Kalau kebangun, baca lagi. Kalau enggak kebangun ya.. mohon doanya ajalah *supaya jadi istri solehah* halahhh :P
(Sudah semakin ngawur saja tulisan ini. Entah apa intinya, ya kan woi?) Haha

Entah apa pasalnya, saya  berkeinginan bersahabat kembali dengan Gie. Mengingat-ingat memori saat menjadi mahasiswa. Oh  iye. Tahukan si Gie? Ituloh china pribumi yang namanya tenar seantero angkatan muda dan mantan angkatan muda yang tetap muda.

Syukur deh, kalau sudah tahu—karena ada sambel juga loh- yang gak tahu siapa si Gie (pasti tu orang seringnya main pees aja di rental dekat rumahnya, ngeplakin kepala anak orang kalau ternyata kalah) *ada saksi mata, awak pernah jadi korbannya* :P

Adalah adik sepupuku, bertanya: “Siapa ini buk? Acem pernah dengar namanya” katanya cuek sambil melihat bukuku.

“Dek, kuliahmu semester berapa?” Langsung kutanya balik.
“Empat. Emangnya kenapa sih?”
“Gak tahu siapa si Gie itu ? Pak Yul (dosen nyentrik sastra di kampus) gak pernah nyebut nama Gie? Bla... bla.. blaa..

Dia manyun dan membaca sekilas 'Catatan Seorang Demonstran' milik Soe Hok Gie.

“Oh tenyata, pecinta alam, ya buk?” tanyanya lagi
“Enggak cuma itu loh~” *geram*

“si GIE itu anak muda yang berpendirian teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Dia juga penulis produktif di beberapa media massa tersohor, pada zamannya.

*tarik nafas*

"Dia Mahasiswa Sastra UI, juga salah satu pendiri Mapala UI. Sosok intelektual muda yang bebas dari godaan penjilat-penjilat kehidupan. Memang Gie mencintai aktifitas mendaki gunung dan meninggal pun di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27.”

“Dan Dia mati muda dengan momoriam nama yang disandangnya masih harum sampai sekarang.”

Si Adekku ber-Ohh.. dan mengatakan “kok bisa gitu ya, buk?

“Nahhh itulah. Renungan yang perlu dipikirkan, ya!”

Seulas tentang Gie:

Kenyataanya memang aku menggemari sosok Gie (terlebih, ekspetasi filimnya) dan juga aku “tersentuh” dengan gaya pemikirannya yang tajam.

Meskipun aku masih menilai Soe Hok Gie secara objektif saja. Aku tersentuh tentang kontribusinya.

Ternyata begitu tangguh adanya pribadi yang dimiliki seorang pemuda cendikiawan itu. Dengan latar belakang hidup, perjalanan hidup hingga akhir kehidupanya. Selalu dihiasi pemikiran yang ligas, perjuangan dan kerja keras yang terkenang dalam buku hariannya.

Ya, ya apapun yang terjadi dengan pribadi Gie, dia adalah Soe Hok Gie. Beserta apapun yang menjadi pilihannya. Penting atau tidak. Berpengaruh atau tidak.

Kan, seorang yang peduli dengan perjuangan berhak mengambil motivasi sebagaian tukar pemikiran bagi diri sendiri. Dan sebab yang telah dilakukan Gie, akhir kata saya simpulkan: Biar Gie menjadi dirinya dengan segala kisahnya.

Sedang kita harus tetap menjadi diri sendiri. Kita harus berusaha dan juga belajar untuk berusaha.


“Sekarang tugasmu, dek. Perbanyak membaca buku-buku juga menulis –apapun-” masih lanjutku untuknya.
Udah begitu aja, ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar