Rabu, 21 Januari 2015

Petugas Parkir dan Penjual Makanan


Settingnya di daerah Jati Negara Binjai: tentang Aku dan Petugas Parkir dan penjual Makanan. 

Kejadiannya menjadikan hatiku ngilu. Bukan karena dinginnya es atau bukan karena hujan yang berturut andil mendinginkanku. Bukan begitu.

Malam itu, sekitar jam 19.30. Aku bergegas kebut gas sepeda moyor menuju simpang Jati Negara, dekat toko kaca Tip Top Binjai. Mendarat di satu warung penjual nasi dan mie goreng. Kupikir, aku sudah cukup dikenal penjualnya, karena sudah menjadi pelanggannya yang setia dan penyabar.

Warung itu cukup tenar kupikir, harganya murah, hanya Rp.7000 sudah komplit dengan telur dadar, acar, oseng sartika dan ikan asin. Pokoknya oke untukku. Hanya buka di malam hari sekitar jam 18.00 sampai si penjual capek, begitu dia pernah curhat.

Dihari itu aku memang sudah berangan makan nasi goreng. Sengaja kutahan lapar sedari sore hari (karena memang jam makan malamku di sore hari). Perutku udah keroncongan aja. Pun memang sedari siang aku lupa beli lauk.

Apalah kalau seharian belum makan nasi memang rasanya gak cocok untukku (ceritanya anak kos dirumah sendiri :p).

Begitu sampai di tekape ternyata stok nasi gorengnya belum ada. Kupaksalah bersabar nunggukan nasinya masak dan di goreng lagi. 15 menit, 25 menit kuperhatikan penjualnya. Sekilas gemulai tangannya mengaduk-aduk sutil di wajan sangat memesona. Harapan terbesarku, jangan sampai keringatnya singgah di wajan itu.

30 menit kemudian muncul seorang laki-laki kurus berbaju orange dan temannya yang bertubuh gempal berbaju liris hijau abu-abu. Mereka berisyarat. Sinyal dalam kepalaku mengartikan mereka sedang berkomunikasi. Iya, tuna wicara. Lantas aku tersadar dengan baju si lelaki kurus yang berwarna orange itu bertuliskan petugas parkir.

“Alamak, ada tukang parkir disini. SEJAK KAPAN??”

Kenyataan pelik yang kuhadapi dan sadari adalah jumlah uang di saku jeketku hanya ada Rp 7000 dan itu sudah pasti hanya cukup untuk membayar sebungkus nasi goreng yang sudah menggiurkan. 

"Terus, gimana untuk si tukang parkir itu?" pikirku dalam hati.

Aslinya aku panik, benar-benar panik. Masih dalam hati aku mengutuk kebodohan sendiri, "kenapalah aku bawa uang pas-pasan. HP tak dibawa. Cemana nasib tukang parkir itu, cemana nanti kalau sepeda motor mogok, cemana nanti kalau di tengah jalan aku lihat penjual kacang rebus, apa gak kepingin itu juga"

*Oh..noooo dasarnya!*

Aku celingak-celinguk, gelisah memantau orang-orang yang berlalu lalang, belum ada yang berinteraksi dengan si petugas parkir. Dan karna sudah semakin gelisah, gak tahan dan akhirnya aku move up, berpaling dari penantian 40 menit nasi goreng yang belum didapatkan.

Kuberikan selembar uang kepada laki-laki kurus berbaju orange itu, dia mengisyaratkan sesuatu yang tidak kumengerti. Kuucap saja "Terima kasih” dan dia membantu agar sepeda motorku menyeberang dengan mudah.

Gelisahku belum selesai. Saat aku ingin putar haluan jalan, yang biasa aku lakukan ketika menyebrang di simpang itu. Harus. Harus terpaksa kuurungkan lagi. Aku tidak jadi menyeberang. Saat itu jalanan terlalu ramai, seramai penyesalan dalam kepalaku.

*tarik nafas*

Terpaksa aku mengeliling Binjai Kota satu putaran. Ditemani sesal hati dan perut yang menjerit jerit kelaparan. Di sepanjang jalan aku gak menemukan penjual kacang rebus. Malangnya perutku sudah demo dengan anarkisnya.

Sekitar 20 menit berlalu, aku sudah sampai rumah lagi. Sesungguhnya aku masih mengidamkan liur nasi goreng yang menggoda, tapi harus diurungkan dan gagal kunikmati karena salahku menghalangi rejeki tukang parkir.

*tarik nafas lagi*

Apalagi?

Aku langsung tancap gas lagi, singgah di rumah makan Salero Minang yang udah menjadi langgananku juga.

“Loh beli nasi bungkus, dek?” begitu sambutannya untukku. Eh, si abang penjual yang memang udah kenal ini pakai acara sesi pertanyaan basi, ya. 

Bathinku keram. Semoga nasinya juga gak basi. Masih suara bathinku yang berseru.

"Apa kita buat?"
"Gak mau yang biasa ya bang, ayam sambel jangan banyak cabenya tapi berkuah aja, potongan sayap ayam yang kanan, ya."

Harusnya si penjual udah hapal pesananku. Harusnya dengan gemulai tangannya, dia membungkus pesananku dengan segera saja. Aku sudah lapar, etapi dia masih melanjutkan sesi pertanyaannya.

"Belum makan dek? Jam segini kok baru beli nasi. Biasanyakan beli nasi bungkus kalau siang atau sore-sore aja?

"Yaudahlah, besok-besok kalau malam awak gak mau beli disini Bang." Si penjual ketawa, ngelanjut "Ngeri kali ya, kelaparan kali rupanya ya, dek." Si penjual terlihat menikmati hiburannya.

Rasanya aku mau nyerahlah. Pengen bilang sama si penjual: Udahla bang, gosah tanya-tanya lagi, atau awak gak jadi beli, aja (lagi). Kuserahkan Rp 10.000.

Eh Si penjual nyeletuk, "besok datang jam berapa dek? mau pesan apa?

"Pesan kepala orang boleh, Bang?"

Si penjual semakin girang, menyerahkan Rp 3000 sebagai kembalianku. Kuucap terima kasih, langsung keluar dan terus ngebut dengan sepeda motor.

Duhai demo di perutku yang sudah semakin anarkis, tak terkatakan lagi.
Setelah selesai makan, curhatku ini langsung tersimpan di rumah srikayaku. 

Sampai aku pun tergelak, kelucuan sendiri.

Pesan Moralku hari ini adalah Sisihkan uangmu untuk petugas parkir. Begitu memang pekerjaannya.
Dan, Bawalah uang lebih jika membeli makanan. Kita tidak akan tahu apa pun yang akan terjadi (termasuk penjual makanan yang menyebalkan :P)

21012015, pukul 22.30
Di rumah yang sunyi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar