Rabu, 12 November 2014

Tentang Ayah

11/12/2014 10:48:00 AM 0 Comments

Bismillahirahmanirrahim... 
Robbanaghfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiroo.
 
Untuk Ayah yang “mungkin” sedang bersantai di kampung atau mungkin berlelah pikir tentang apapun yang Ayah mau.

Hari ini, bertepat dengan rindu-rinduku yang kian menebal. Bertambahlah beban hatiku tentang mereka yang mengatakan hari ini adalah “Hari Ayah Nasional”.
Aku membayangkan, akan begitu banyak anak-anak yang “merayakan” dengan ucapan-ucapan “Selamat Hari Ayah”, “Ayah adalah segalannya”. Terimaksih Ayah...” “Ayahku yang paling hebat, loveyou Ayah.

Ahh, rasannya . . . . ya hebat!

Terkadang, seorang Ayah lebih mengerti tentang anaknnya. Bisa tahu 'apa yang sepertinya' ingin dikatakan anaknnya.

Mungkin, Bapak tahulah tentang apa yang mau Nak Sri bilangkan, gak usah jadikan ini beban, Nak. Bapak tahu, meskipun, tetap saja, apa yang Nak Sri rasakan butuh aplikasi verbal, untuk jaminan, Bapak tahu itu, Nak, dan jangan tanyakan lagi sayangnya Mamak dan Bapak untukmu, Nak Sri. Bapak bangga semuannya.”... Ayahku yang mengatakannnya, lewat sms, ketika ceremonial wisudaku, seperti hadiah, yang entah kenapa nikmat sekali menemani senduku. Saat itu, sms menjadi pilihan, karena kami masih terpisah tempat duduk.
Dan waktu yang lain juga, bertukar suara menjadi pilihan kami.

“Assalamualaikum Bapak lagi apa?”
--Lagi di rumah, Nak Sri, baca koran.
“Udah Makan Bapak, apa gulainya? Ada sayurnya, gak?
--Udahlah, ikan laut, gak ada, malas kami makannnya.
“Aiih, enaknya..
--Ada masalah di rumah, Nak?
--Sehat Anak, Kan?
--Lagi dimana Sri?
--Jangan naik kereta yaa
--Jangan baca bukumu itu sambil tidur
--Makan nasimu pelan-pelan, 3 kali teraturlah
“.......”
Ayah selalu mengatakan hal yang sama, berulang kali, sampai aku menyerah dan menuruti “maunya”

Masih tentang Ayah.
Aku sangat rindu berdekat (lagi) dengan Ayah. Saat di rumah, mendengar cerewetnya yang kusukai -tidak hanya via suara, yang bahkan sekarang sering kubatasi-
Harusnya, sangat terasa jelas rinduku untuk Ayah. Meskipun tiap-tiap waktu masih mencoba menahan diri untuk tidak banyak melapor padanya, sederhannnya, aku ingin dia tenang dan masih percaya aku baik-baik saja. Yang tidak sederhana, Ayah itu "cerewet" melebihi Mamak. Jadi, karena memang sangat jelas untuk banyak urusan Ayah lebih mendominasi banyak perintah, untuk memerikan hasil padanya, aku masih kesulitan belajar mengatakan "Adek bisa, Pak" karena Ayah terus meragu. Ku pikir selalu begitu sikap seorang Ayah.

Hal yang berbeda akan terjadi, setiap waktu, jika Ayah ada di rumah. Aku akan sangat terampil berusaha bertameng alasan ampuh untuk diantarkannya untuk pergi ke suatu tempat (meski, sekarang aku lebih suka mengendarai kereta sendiri karena sudah bisa dan berani mengendarainnya).  Alasanku masih sama, sederhananya, aku rindu padanya. yang tidak sederhana, aku “masih” ingin bersandar dan memeluk punggungnnya ketika mengendarai keretanya, seperti dulu kecilku.
Hampir 6 tahun lamanya, bahkan sejak aku berusia 3 atau 4 tahun, ketika aku sekedar tahu ternyata “dibonceng Ayah naik kereta itu paling mengasyikkan”.

Selama 6 tahun bersekolah dasar, aku tidak pernah diantar ke sekolah, ya karena memang sekolahku dekat daerah rumah. Berkereta dengannya hanya bisa di sore hari, sepulang aku mengaji di madrasah- jika dia tidak sibuk dan aku juga tidak sibuk menonton tv. Namun, ketika umurku 13 tahun, saat menginjakkan kaki ke SMP, berlanjut SMA, aku selalu menjadi prioritasnya di pagi hari, ya, rutinitasnya pagi hari selalu dibebani dengan agenda mengantarku ke sekolah. Dihiasi desakan agar aku menyegerakan langkah yang dirasanya lambat. Ayah tak segan harus berteriak memanggil dari luar rumah agar aku melangkah dan bergerak lebih cepat. Ayah tidak suka aku terlambat sekolah (meski yang terjadi, aku terlalu sering untuk terlambat)

Dia lah Ayahku. Pria pemikir yang paling kucintai.  Pria perenung yang kukagumi. Pria yang cerewet, diplomatis, kaku, dan memiliki cara tertawa yang aneh dengan kuantitas minimalis. Ayah satu dari pembentuk pribadiku, yang selalu ingin bergerak cepat, seperti terburu-buru. Alasannya dari Ayah karena tak ingin aktifitasnya terhambat dan melambat karena terikat oleh orang lain. Sedangkan alasanku, dia mengajarkan begitu. 

Masih tentang Ayah. Ayah adalah guru berdiplomasi terbaik yang kumiliki. Ayah punya banyak koleksi buku berpidato dan khutbah -dulu ayah jagoan bahkan sampai sekarang.

Sampai aku menjadi Mahasiswa, dia masih setia menjadi “pengantarku” kemanapun aku akan pergi, meski tak jarang dia mulai membatasi, dan sedikit membentak karena keberatan dengan kebergantunganku padanya. Aku yakin itulah hati seorang ayah yang sebenarnnya. Ayah hanya “berusaha” berlaku tegas dan sedikit “keras”.
Entah mengapa, karena kebiasaan dan pemahamanku, aku selalu menganggap itu sebagai rasa kasih sayangnya. Aku selalu merasa semua ucapan-ucapan yang keras itu tak ubahnya sebagai bumbu penyedap yang menambah rasa mantap masakan, meski terkadang dapat menjadi boomerang bagi tubuh dan dapat menimbulkan efeksamping. Tentunya “penyedap makanan” itu adalah analogi sikap ayah bagi anaknya. Ayah sering memadukan jenis-jenis penyedap yang sangat bervariasi. Itulah yang paling ku suka dari Ayah. Aku sangat suka peyedap dari Ayah.
Ayah memang yang paling bisa.
Ayah Pahlawan.


#12112014
Selamat Hari Ayah :)
 



Selasa, 11 November 2014

AKU, FLP dan MEREKA #1

11/11/2014 11:05:00 PM 0 Comments


Ini tentang kisah yang (sepertinya) akan menyejarah.
Tentang AKU dan FLP-ers
 

Diawali, dari getar-getir gejolak yang mengusik diri. Laksana anak itik yang tersesat dan tak tahu hendak kemana dia pulang. Sejak tahun 2012, saya kelimpungan mensyurve wadah partisipasi dan kreatifitas, layaknya organisasi yang memiliki azas dan pondasi yang menjadi sarana pembelajaran. Simplenya, saya membutuhkan pengorganisasian.
  
Getar-getir yang dimaksudkan diawal yang menjadi pembuka diatas jua, menjadi alasan kedua. Alasan pertama adalah karena saya terlena dengan kepercayaan bahwa menulis adalah sebuah terapi. Saya sadari dengan pikiran terbuka, saya butuh terapi jiwa yang ampuh dilakukan dengan kesenangan pribadi.
Wah, serius amiiit deh, kaaaayaknya.... Hahaha.

2012, saat saya masih di semester 3, teringat dengan dosen telaah puisi yang juga (tentunya) bergelut dalam sastra, novelis dan manusia modren independen bernama pena Win R.G. Usut punya usut beliau menulari kami (mahasiswanya) untuk (lebih) mencintai sastra, dengan pendekatan fiksi. Saya yang saat itu takjim, bak pemburu bersenjata internet, tergugah menjadi mata-mata dengan profesi stalking "ilmu" kepenulisan yang dijadikannya (read:dosen saya) wabah.
Akan sangat panjanglah kelak tulisan ini, jika saya memberanikan pendetailan kisah yang tersirat. Singkat kata cerita, beliau menyebutkan keorganisasian menulis, tentang kisahnya, dengan novel kesayangannya Ketika Mas Gagah Pergi  buah pikir Helvy Tiana Rosa yang menjadi pendiri forum kepenulisan, adalah FLP.

Saya stalking jejaring medsos, search FLP, sejarahnya, pondasinya, para pelakunya dan proses rekrutmentnya. Dan kecewalah saya.

Lohh? Kecewa?
Iyala, saya ketinggalan kereta.. Haha. Kereta tak berkuda.

Di 2012, Saya dan FLP belum berjodoh, saat itu, yang saya temukan akun fb FLP SUMUT.
“Saya mah, ternyata, udah ketinggalan info!”.

Saya memburu infonya (sekitar) bulan Oktober, sedangkan open rekrutment angkatan 5 dilaksanakan sekitaran Agustus. Jadilah, telat sudah, sunggingkan senyum.
"Gak papahlah, belum berjodoh, FLP, kutunggu rekrutan 6 nya!"

Waktu begitu bermakna, sampailah kita pada kisah tahun 2014. # apaansih maksudnya? :D
Getar-getir tak tersampaikan saat dua tahun lalu terkoyak kembali,
"kapanlah fLp itu open rekrutment lagi sih, sombong banget siamat! Buat penasaran aja."

Angin berhembus, sapa disambut.
Here we go..... mari, kita mulai dari “nol” lagi ya

FLP SUMUT mengadakan program rutin di bulan Ramadhan: Tadarus Sastra.
Saya pikir, agenda tersebut hanya sebagai pengantar dan sarana publikasi FLP, prosesnya seperti melakukan relaksasi dan pemanasan, tanggal 6 Juli 2014, terselenggaralah seminar motifasi menulis, gratissssss di Perpustakaan Kota Medan jalan Iskandar Muda. Temanya “Saatnya Jadi Penulis!” dengan tagline “Ramadhan ini, Kamu harus bisa jadi penulis!!”
*aiiihhh rancak banna, brosurnya, warna ungu..... aduuuuuh tergoda Awak :D

Berteguh, maju mundur tak cantik, saya ragu-ragu cantik untuk menghadirinya. Posisinya, saya dalam situasi semesta yang sangat tidak mendukung, mestikung.
Kegalauan dalam ingatan pribadi yang saya rasakan (sepertinya) tidak layak publis (Hahaaaha) *ah biasa aja* lagi sakit aja kok, dapat vonisnya sih, badan meriang ulalala karena efek tumbuh gigi graham, gitu. *HAH! Sakiiiitnyaaaa kebangetan*

Tapi, apa mau dikata, rasa penasaran dua tahun yang lalu harus dibayar dengan tidak boleh ketinggalan info lagi!
Saya hadiri acaranya, pematerinya bang Anugrah Roby dan Mbak Ratna DKS. Mengupas tentang trik-trik kepenulisan, yang menjadikan saya merasa kekenyangan.
 

*Trantang teruntung....

Acara berlangsung 2-3 jam, sampai si MC yang saat itu adalah Kak Putri dan Kak Nurul, yang membuat atmosfir menyenangkan. “Asyik!” karena merasakan pemantapan perasaan dari kosa kata tersebut, dan karena "ilmu asyik" itulah saya ikhlaskan untuk mendaftar, ikut Tadarus Sastra 2014.
Selanjutnya, terjadilah seperti seharusnnya. Acarannya seminggu. Saya ambil konsentarasi fiksi, disesi gelombang 1, tanggal 7-12 Juli 2014.

Malangnya, kesempatan saya tidak berjalan mulus, saya tidak bisa berhadir di dua pertemuan akhir, yang saya pikir yang sangat menentukan, seperti kelulusankah (?) Hahaaa, ya enggak la, saya melewatkan agenda buka bersama di penutupan Tadarus sastra, dengan alasan, pertimbangan waktu dan "keberanian" saya untuk pulang terlalu malam. Saya membayangkan dalam posisi, pulang di atas pukul 19.00 atau lebih dari medan (read: lokasi rumah cahaya), harus naik angkot kosong atau penumpangnya dominasi laki-laki, sendirian (tidak terlalu jadi masalah), dan lebih diperparah lagi dengan ketiadaan angkot. *Ohh itu sangat menyebalkan.

Alhasil, saya tetap tidak berhadir, dan tidak terciptalah kesempatan memiliki sertifikat Tadarus Sastra.. (Oiiih, Kak Putt, kekira sertifikatnnya masih bisa di klaim, gak ya?)

Kayaknya udah kepanjangan benget deh ini kisah, rada pegal nulisnyya. “_”
Lanjut deh... sesi keduannya
Ketika itu, terbitlah flayer 


"Open Reckrutment Angkatan 6" di akun Fb-nya Kak Nurul (Ketua FLP)

dann  besok deh, lanjut kisah ini, kisah yang masih berharap menyejarah dengan baik.

Jumat, 24 Oktober 2014

tidak berjudul

10/24/2014 02:47:00 PM
terjadi sesuatu yang aneh, lagi dan lagi . . .

*241020144

Sabtu, 18 Oktober 2014

Hari Wisuda

10/18/2014 01:12:00 AM
Bismillah..

Di sesela waktu rehat yang harusnya raga berdamai dengan istilah istirahat.. sesedu-sedan dengan kondisi hidung yang berlumer cairan yang tidak membuat nyaman, tenggorokan yang gatal-gatal serta suhu tubuh yang mencoba normal. Ceritanya kondisi raga yang akhirnya meminta porsi perhatian, alhamdulillah... sekiranya dua tiga hari bisa menawar dedosa yang terhilaf dan terzhahir.

Sekilas ingatan, di sepuluh hari yang lalu...
ah, atau mungkin di duabelas atau tigabelas hari yang lalu, saat raga on fit maksimal menyambut Eid Adha Mubarak dan dagdigdung terhadap prosesi wisuda yang akan tergelar 3 hari kemudiannya.
Prosesi wisuda yang (karena euporia dari sekawan-kawan) mengannggap hari itu adalah salah satu prilal top of the top day for life.
*Ceiiilehhh.... jadi wisuda juga Awak ^_^


Begitula harusnya..
Apa jadinya jika wisuda yang digadang menjadi kenangan seumur-umur hidup, kisah yang diharap-harap berkesan ini mejadi moment yang justru sangat ingin terlupa dan terganti dengan kisah lainnya.
 ... sebelumnya, saya mengisi curahan hati dengan teman bergolongan darah AB, Rona, yang telah berkesempatan terlebih dulu merasakan bebannya menghadiri wisuda, yang baginya adalah hari dimana pengukuhan para pengangguran berjamaah.

Seadanya, perasaan saya, ketika prosesi wisuda terlaksana...
Pertama,saya harus banyak-banyak menahan diri tentang kestabilan cucuran air mata, dengan alasan bersedih karena ketidakmungkinan hadiranya Ibunda yang sedang traveling di alam yang berbeda.
Kedua, saya harus menahan kecewanya perasaan, dengan alasan bahwa saya sangat berharap didampingi dan dikunjungi oleh dua saudara kandung dan sahabat Geroters yang saya spesialkan.
dan ketiga, saya yang terus saja hingga sekarang menahan kecamuk perasaan.

Dibalik perasaan yang tak mengenakkan, selalu ada pilihan untuk tersenyum dan bersyukur, bukan begitu?


Bersama Ayah :) 
Ayah masih berkesempat dengan sehat dan semangatnya mendampingi gadis terdidiknya ini. Ayah juga berluang memberikan perhatian jaim dengan sms yang dikirimnya ketika selesai pengucapan ikrar wisuda diucapkan anak gadisnya. Beliau berpesan tentang doanya, cintanya, harapannya, dan nasihat yang kusadari menjadi hadiah terindah di hari wisudaku. Terbalas olehku dengan doa, cinta dan terimakasih yang menjadi ikrarku bahwa tiba saatnya aku benar untuk mengabdi. Iya, mengabdi untuk harapan yang ter-iya-kan. Sekarang dan seterusnya.


#8102014



Minggu, 05 Oktober 2014

Kusebut Rindu Saja

10/05/2014 09:07:00 PM

Pergi aku dalam ramai
adanya sepi
Pergi aku dalam sepi
adanya kemelut
penat rasa datang mengusut
nyaris menuntut

Entah aku kemana
Saat kurasa apa yang ada
Saat tak kurasa apa yang ada
Saat kutemukan apa yang ada
Saat tak kutemukan apa yang ada
sepi, sendiri ini, kusebut rindu saja

*5102014
 *Selamat Hari Raya Idul Adha :)

Selasa, 30 September 2014

Mahasiswa tingkat Akhir

9/30/2014 12:20:00 AM
Bismillah...

*baru kesempat, update kabar dengan blog...
kabar terbaru....
akhirnya... fase mahasiswa di tingkat pendidikan tinggi, jenjang strata satu sudah berlalu dan berkenan memberikan saya gelar S.Pd

-Kata Pengantar-

Ba'da syalawat dan syukur dengan kesehatan, keimanan dan kesempatan apa-apa, segala yang diharapkan dan tak diharapkan, selama mengisi dan menghiasi kehidupan yang berlalu dengan pemaknaan yang tak luput dari pembelajaran hati dan pikiran yang masih sibuk belajar untuk terus mencoba berdamai.


Terimakasih teruntuk  Allah SWT da Rasulullah yang memberikan  kharunia kemampuan dan kesempatan untuk belajar.
Terimakasih teruntuk Ayah dan Mamak yang sangat tercinta, yang selalu mendukung dengan semangat dan kasih sayang yang takkan usai -insyaAllah-
Terimakasih untuk Abang Awi dan Abang Pesal, yang tidak membantu secara langsung namun tetap berusaha untuk mengingatkan bahwa kalian masih ada untuk terus menjadi cerewet untukku.
Terimakasih teruntuk Dosen Kebanggaanku. Keidolaanku Papi Drs.Mhd. Isman, M.hum. yang bersedia membimbing dengan cara menakjubkan, yang selalu menjadi perhatianku di kampus. Saya akan rindu selalu nanti-nantikan sensasi transfer ilmu dan nasihat tak terucap yang Bapak berikan.
Serta terimakasih teruntuk sahabat dan semua orang yang berada dalam sekeliling lingkaran perjumpaan dan pertemanan di kampus. Sahabat moril dan Sahabat Asyikku, Rani.

untuk penghormatan diri, penghargaan hati, dan selingkup perasaan yang terjalin selama ini, semoga  menjadi pembelajaran yang bermakna untuk kesempatan lain yang akan saya mulakan lagi...

rangkai kisah #skripsi_behind the scene yang telah selesai....
* bergambar

  




Senin, 23 Juni 2014

Skripsi Blues Syndrom

6/23/2014 10:35:00 AM
Bissmillah..

Semoga gak ada yang komplen dengan judul yang saya tulis di atas.
Saya menamakan situasi yang saya alami sekarang sesuai dengan judul yang saya tulis diatas.
Skripsi Blues Syndrom
Alasan saya menyebutkan situasi ini sebagai syndrom karena berdasarkan pada kenyataan. Entahlah istilah syndrom ini muncul dalam pikiran saya. Benar juga, tentang pepatah yang mengatakan “kamu adalah apa yang kamu baca”.
Penyabab dari ketidakjelasan ini diawali saat telinga saya terusik pembicaraan ibu-ibu yang bersebelahan dengan saya di dalam angkot *menuju kampus. Seorang yang memakai seragam putih, dugaan saya dia sebagai konsultan dadakan seorang Ibu yang sedang menggendong anaknya dan seorang lagi yang memakai daster coklat dengan perut yang membusung pastinya karena hamil. Entah juga, saya memprasangkakan si Bumil itulah yang jadi sentral masalahnya. Mereka membicarakan tentang persalinan bayi mulai biaya sampai sikap suami mereka. Subhanallah, banget itu ibu-ibu ngegosipin suaminya masing-masing. Malangnya, saya ikut menjadi pendengar buah bibir yang mereka nikmati.

Sampai ketika mereka juga menyebut-nyebut tentang “Postpartum Depression” atau baby blues syndrom, hingga membantu kening saya terkerut (huah!) Sepertinya saya femiliar dengan istilah itu. Tak lain juga, saya ingat-ingat karena pernah nonton berita tentang syndrom tersebut.

"Baby Blues Syndrom merupakan sebutan tentang perasaan sedih dan gundah yang dialami ibu muda yang baru saja melahirkan bayinya" (hasil riset googling menghasikan fakta-fakta yang mencenangkan tentang syndrom ini, amaziiing). Aneh memang. Perasaan senang menanti kelahiran buah hati ternyata pada sebagian ibu bisa berubah menjadi depresi bahkan setelah mengalami proses kelahiran bayinya. Namun sekarang, saya tidak berniat membahas dan memperpanjang persoalan baby blues syndrom yang di alami ibu-ibu itu. Semoga para ibu muda itu mampu menghilangkan depresinya dengan berdoa dan bertawakal kepada Allah untuk meminta perlindungan terbaik.

Sesampai saya di kampus, dengan setengah tenaga menuju perpustakaan, pengaruh syndrom ibu-ibu tadi belum hilang dari pikiran saya. Bahkan sampai juga berpikir bahwa saya juga sedang meraskan suatu syndrom yang aneh. Tapi sudah pasti bukan syndrom baby blues. Saya menyebutnya “Skripsi Blues Syndrom”. Seperti saya merasakan beberapa gejala-gejala yang juga biasa terjadi saat baby blues syndom melanda. Diantara tanda-tandanya itu memiliki kesamaan dengan yang saya rasakan adalah : Menangis tanpa sebab, mudah kesal, lelah, gemas, tidak sabaran, tidak percaya diri, sensitifitas yang meningkat dan sulit beristirahat a.k.a sulit tidur.

Saya agak kaget sesaat memikirkan hal ini, bahkan ketika menuliskan perihal ini. Dengan kareakteristik yang saya baca sampai membelalakkan mata untuk meyakinkan keterangan tanda-tanda syndrom tersebut. Bagaimana tidak, kesemua tanda-tanda itu juga sedang saya rasakan.
Saya menganalisis ulang tentang apa yang saya rasakan, teringat dengan skripsi yang entah apa kabarnya. Cek punya cek saya membuka file di laptop, astaga, saya belum merevisi apa-apa. Bahkan saya hanya menulis satu lembar dan itupun berupa cover proposal dan hanya bertuliskan judul terbaru setelah hasil diskusi bersama pembimbing skripsi tentang manfaat dan tujuan penelitaian saya. Perasaanya saya pun menjadi tambah sensitif, situasinya bertambah dramatis ketika seseorang disebelah saya yang terlihat benar-benar asyik bermesra dengan laptopnya, melentikkan jarinya di keyboard sembari terus-menerus melihat referensi skripsi lain di sampingnya, bersemangat sekali. Sedangkan saya, asyik "sok" bersibuk diri dengan dengan itu-ini yang masih antah-berantah. ekspresi *nelan ludah plus bibir manyun pun show-in*

Saya teringat Ayah dan rindu Mamak.
Prilaku saya yang sepertinya mengabaikan skripsi merupakan momok pikiran. Saya kehilangan semangat seperti ketika mendapat inspirasi tentang permasalahan literasi, semangat berburu tanda tangan kajur untuk acc, serta rasa senang setelah saya resmi mendapatkan barcode judul. Kemudian pengalaman curi-curi waktu sang dosen idola untuk berharap bimbingan beliau, tak lain demi kelangsungan hidup skripsi saya yang malang. Hingga mungkin beliau iba memberikan pencerahannya setelah saya seperti memata-matainya di sekitaran ruang dosen -sunggguh mengasyikkan. Bahkan ketika bertemu dengan beliau, serasa jantung berdetak tidak lagi normal. Saya menggagumi Papi Dosen kebanggaan saya.

Berdasarkan segala kegalauaan ini, entah mengapa, saya terpikir ingin mengubah istilah baby blues syndrom yang biasa dialami ibu-ibu pasca melahirkan dengan mengubah istilah tersebut menjadi skripsi blues syndrom. Sehingga, dari istilah itu hendaklah saya simpulkan bahwa skripsi blues syndrom adalah perasaan resah, sedih dan binggung yang dialami mahasiswa tingkat akhir setelah mendapat acc judul untuk “memulai” melanjutkan dan memecahkan permasalahan yang ada untuk dilaporkan menjadi proposal, dimajukan untuk melaksanakan seminar proposal. Kemudian menuntaskan bab 3, 4 dan 5 agar menghasilkan skripsi yang nyata untuk mendapatkan reward  sensasi meja hijau, pengumuman hasil gelar dan momen graduation. Tentu saja, proses yang tidak bisa di bilang sekedar mudah tetapi juga tidak sesulit yang terbayangkan.
Ribet ya? Hah, ringkasnya masa SBS ini adalah masa yang menyebalkan dan hanya akan di mengerti oleh mereka yang sedang merasakan dan menikmati pilunya proses semester akhir di perguruan tinggi.